Interpretasi Sastra
LAPORAN BACAAN MINGGU
KE-14
Nama :Nesa Yulia
Nim :21016159
Mata kuliah : Pengantar Pengkajian Kesusastraan
Dosen pengampu:Dr.Abdurrahman.M.Pd
A.PENDAHULUAN
Sastra merupakan ungkapan ekspresi jiwa manusia berupa karya tulisan atau lisan yang didasari oleh pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan dalam bentuk imajinatif, cerminan kenyataan atau data asli yang dibungkus dalam kemasan estetis melalui media bahasa.
Pengertian diatas diperkuat oleh Sumardjo & Saini (1997:3) berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaab, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Selain itu sastra juga dapat diartikan sebagai sebuah karya yang terbuka terhadap berbagai interpretasi (penafsiran). Interpretasi adalah proses menyampaikan pesan yang eksplisit dan implisit yang termuat dalam sebuah karya sastra. Interpreter adalah juru bahasa atau penerjemahan pesan yang terdapat dalam karya sastra. Berikut kali ini akan dibahas lebih dalam apa itu hakikat interpretasi Sastra,hal-hal yang mempengaruhi terhadap interpretasi suatu karya sastra, hakikat evaluasi terhadap karya sastra, dan ragam evaluasi terhadap karya sastra.
B.PEMBAHASAN
1. Hakikat Interpretasi Dalam Karya Sastra
Hermenuetika dianggap sebagai teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interprestasi terhadap teks. Hermenuetika adalah kegiatan penafsiran yang melibatkan tiga unsur yaitu teks, mediator, dan pembaca. Ketiganya dialektis dan masing -masing memberi sumbangan dalam proses pembentukan makna.teks sastra bersifat politik simbolik dan konseptual, sehingga maknanya terselubung. Oleh karena itu, hermenuetika merupakan salah satu cara untuk menyingkap makna terselubung yang terdapat dalam teks sastra
Secara etimologis, kata “hermenuetic” berasal dari bahasa Yunani “hermenuetin” yang artinya penafsiran. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu teori atau filsafat tentanf interpretasi makna. Hermenuetika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra.
Hermenuetika terkait erat dengan kegiatan penafsiran dan pemahaman makna. Karya sastra yang terwujud dalam bentuk teks memiliki sejumlah tanda atau kode, seperti tanda atau kode bahasa, tanda atau kode sastra,dan tanda atau kode budaya. Tanda atau kode tersebut kadang ditampilkan dalam bentuk simbolik, sehingga diperlukan usaha untuk menafsirkan dan memahami maknanya. Dalam usaha penafsiran dan pemahaman teks sastra, signifikasi teori dan metode hermenuetika dapat dijadikan sebagai piranti atau pisau bedah kajian.
Hermenuetika ialah sebuah metode yang diperuntukan sebagai pemahaman teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaah teks karya sastra.hermenuetika tepat untuk membaca karya sastra karena dalam kajian sastra, apapun bentuknya, berkaitan dengan aktivitas yakni interpretasi (penafsiran)
Kegiatan apresiasi sastra dab kritik sastra pada awal dan akhirnya bersangkutan dengan karya sastra yang harus diinterpretasikan dan dimaknai. Karya sastra perlu ditafsirkan, sebab disatu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, dipihak lain didalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan.
2.Hal-hal yang Mempengaruhi Interpretasi Terhadap Suatu Karya Sastra
a).Interpretasi karya sastra dipengaruhi oleh konteks teks dan konteks karya pengarangnya.
b).Pembaca memiliki kebebasan tertentu dalam menentukan makna umum yang disebut juga dengan makna tematik.
c).Perbedaan antara pembaca secara individu karena banyaknya kemungkinan variasi yang terjadi dalam hal umum misalnya seperti minat, pengetahuan dan latar belakang.
d).Perbedaan antara pembaca secara berkelompok dapat digambarkan secara sistematis dengan bertolak belakang dari perbedaan dalam hal pendidikan, lapisan masyarakat, Agama, dan jenis kelamin.
3.Hakikat evaluasi terhadap karya sastra( kritik sastra)
Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan karya seni atau tidaknya dalam kata pertimbangan terkandung arti memberi nilai sebab itu, dalam kritik sastra tak dapat ditinggalkan pekerjaan menilai. Karya sastra adalah termasuk karya seni, seperti halnya karya-karya seni lainnya. Seni musik, seni lukis, seni tari, dan sebagainya. Didalamnya sudah mengandung penilaian seni. Dan kata seni ini berhubugan dengan penegertian “indah” atau “keindahan”. Kembali pada karya sastra, karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertiimbangan, memerlukan penilaian akan “seninya”. Sampai sejauh manakah nilai seni suatu karya sastra ataupun mengapakah suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni, sedang karya sastra yang lain kurang atau tidak mempunyai nilai seni atau dengan kata lain mengapakah suatu karya sastra ini “indah” sedangkan karya sastra lain tidak.
4.Ragam Evaluasi Terhadap Karya Sastra
a).Hermeneutika Tradisional
Refleksi kritis mengenai hermeneutika mula-mula dirintis oleh Friedrich Schleiermacher, kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Hermeneutika yang mereka kembangkan kemudian dikenal dengan "hermeneutika tradisional" atau "romantik". Mereka berpandangan, proses versetehen mental melalui suatu pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu (Lefevere, 1997: 47). Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada "pemahaman pengalaman pengarang" atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada "ekspresi kehidupan batin" atau makna peristiwa-peristiwa sejarah. Apabila dicermati, keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere (1977: 47) karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif. Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes (1987: 58) yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.
Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis (geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora (1977: 48), apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena menurut Eagleton (1983) "dunia" karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek.
Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara pengamat dan penafsir (pembaca) tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian, teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan (1977: 47-48); Eagleton, 1983: 59; Valdes, 1987: 57; Madison, 1988: 41). Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang diungkapkan.
Kelemaham yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya "menghidupkan kembali" (mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dmunculkan oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1977: 49). Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra.
b).Hermeneutika Dialektik
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa (Lefevere, 1977: 49).
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa "penjelasan" dan pemahaman" dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal ini dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan). Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48). Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan. Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut-yang tidak mempertentangkan "penjelasan" dengan "pemahaman"-sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting "penjelasan" dan "pemahaman" untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59).
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri.
c).Hermeneutika Ontologis
Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagi metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.
Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan ma-salah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih mementingkan "rekreasi". Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan "reproduktif", tetapi sebagai jalan "produktif".
Berbeda halnya dengan apresiasi Lefevere, Valdes justru melihat bahwa apa yang dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59)
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.
C.PENUTUP
Sastra adalahh ungkapan ekspresi jiwa manusia berupa karya tulisan atau lisan yang didasari oleh pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan dalam bentuk imajinatif, cerminan kenyataan atau data asli yang dibungkus dalam kemasan estetis melalui media bahasa. Pengertian sastra adalah hal yang tidak berhenti dibicarakan sepanjang masa. Pengertiannya terus diperdebatkan sejalan dengan pendapat para pelaku dan perkembangan zaman. Sastra dapat menjadi saksi dan komentator kehidupan manusia.
Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, pertimbangan karya seni atau tidaknya dalam kata pertimbangan terkandung arti memberi nilai sebab itu, dalam kritik sastra tak dapat ditinggalkan pekerjaan menilai. Karya sastra adalah termasuk karya seni, seperti halnya karya-karya seni lainnya. Ada tiga ragam evaluasi terhadap karya sastra yaitu Hermeneutika Tradisional, Hermeneutika Dialektik, dan Hermeneutika Ontologis.
D.DAFTAR PUSTAKA
https://serupa.id/sastra-pengertian-sejarah-jenis-fungsi/
Manuaba, Putera. 2021. In the limelight. 07. Accessed 11 28, 2021. https://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/hermen.html
Suparie, Gunoto. 2020. Jatengdaily.com. 08 23. Accessed 11 28, 2021. https://jatengdaily.com/2020/hermeneutika-singkap-makna-terselubung-sastra/
Rafli Hidayat. 2015. "Memahami Berbagai Pendekatan dalam Interpretasi dan Evaluasi Karya Sastra. " blogspot6.com